FEMINISME dan Partisipan Politik di Indonesia

Sejarah Feminisme.

Feminisme adalah sebuah pemikiran atau paham yang menuntut kesetaraan sosial, politik dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Dalam sejarah, perempuan hanya memiliki batas dalam ruang lingkup yang kecil daripada kaum laki-laki, gerak perempuan selalu dibatasi. Pada abad pertengahan perempuan tidak memiliki hak untuk mengakses pendidikan, memiliki properti dan berpartisipasi dalam persoalan kehidupan publik.

Salah satu pioner dalam pemikiran feminisme abad pertengahan adalah Mary Wollstonecraft (1759-1797), ia menerbitkan sebuah karya berjudul “A Vindication of the Right of Woman” yang menuliskan tentang pola pikir masyarakat yang terjebak dalam budaya patriarki, dimana menjadikan perempuan tak lebih dari sebatas perhiasan rumah tangga tak berdaya, Marry juga beranggapan bahwa keterbatasan ruang dan gerak perempuan inilah yang mengakibatkan perempuan sering menjadi korban kekerasan rumah tangga sehingga membuat perempuan frustasi dan membuat perempuan juga melakukan kekerasan terhadap anak-anak serta pelayannya. 

Awal terjadinya revolusi dan perkembangan feminisme dan juga menjadi tombak awal revolusi dalam karya tulisannya, ia menggagas bahwa kunci terpenting dalam memajukan peradaban tentu mengharuskan adanya perombakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan terhadap perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Tidak hanya sebatas revolusi yang digagas oleh Wollstonecraft, pioneer lainya muncul karena memperhatikan bahwa paham feminisme mati suri. Simone de Beauvoir (1908-1986) muncul dengan gagasan lebih radikal dari Wollstonecraft. Dalam karyanya yang berjudul “The Second Sex” Beauvoir menyatakan bahwa alasan dari objektivitas perempuan adalah karena adanya konsep “yang menguasai dan dikuasai’, de Beauvoir juga menggali beberapa mitos tentang perempuan yang sering dijadikan alasan oleh laki-laki untuk menomorduakan perempuan dan membuat laki-laki lebih superior.

Alison Jaggar, seorang feminis memberikan penjelasan ketertindasan perempuan sebagai berikut : 1) Bahwa perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas; 2) bahwa ketertindasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh masyarakat mana pun; 3) Bahwa ketertindasan perempuan merupakan bentuk yang paling dalam dan ketertindasan yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial seperti penghapusan kelas masyarakat tertentu; 4) Bahwa penindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat terhadap korbannya, baik secara kualitatif, walaupun kesengsaraan tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang dilakukan oleh pihak penindas maupun tertindas; 5) Bahwa pemahaman penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.

Pergerakan kaum Perempuan di Indonesia.

Dalam sejarah masa kolonialisme di Indonesia terdapat diantaranya gerakan-gerakan perempuan sebagai pejuang di medan perang dan bidang pendidikan. Cut Nyak Dien, salah satu  pejuang yang turut turun berjuang bersama rakyat dalam peperangan melawan penjajah Belanda di Aceh. Bersama sang suaminya Teuku Umar, ia gigih melawan penjajah dan menjadi pemimpin pasukan melakukan perlawanan hingga akhir hayatnya. Cut Nyak Dien adalah pejuang perempuan yang ditakuti Belanda kala itu. Cut Nyak Dien mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964. Dari perjuangannya kita dapat menilai bahwa perempuan mampu untuk melaksanakan tugas yang setara dengan kaum laki-laki.

Raden Adjeng Kartini (1879-1904), merupakan tokoh dari pulau Jawa dan juga mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964. R.A. Kartini adalah seorang yang terpelajar, beliau semasa hidupnya menjadi pelopor kebangkitan hak perempuan dan pendidikan perempuan di Indonesia. R.A. Kartini juga mengenyam pendidikan tinggi karena kedekatan relasinya dengan pejabat Belanda. R.A. Kartini mendapatkan niat untuk memajukan perempuan pribumi karena melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini saat berusia 12 tahun, harus menjalani kehidupannya tinggal di rumah yang disebut “dipingit”. Dalam perjuangannya, R.A. Kartini tidak serta merta berdiam diri saat dipingit, ia melakukan komunikasi melalui surat kepada teman-temannya di Belanda dan banyak membaca media cetak dari Eropa. Dari bacaan-bacaannya Kartini memiliki perhatian bahwa tidak hanya soal emansipasi wanita semata, melainkan masalah sosial umum. Kartini lebih melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai gerakan yang luas.

R.A. Kartini menggambarkan bahwa penderitaan perempuan Jawa adalah akibat dari peraturan adat, tidak bebas bersekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal. R.A. Kartini tidak berhenti berpikir, berbagai upaya dilakukannya termasuk keinginannya melanjutkan studi ke Eropa bahkan departemen pengajaran Belanda juga memberikan kesempatan bagi Kartini untuk studi menjadi guru di Betawi, namun Kartini mengurungkan niat studinya dikarenakan akan menikah. Kartini mendapatkan dukungan dari suaminya kala itu untuk mengembangkan ukiran Jepara dan mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi nusantara.

Cut Nyak Dien dan R.A. Kartini adalah dua contoh bagaimana perempuan juga dapat memiliki kesetaraan hak dan kemampuan dengan laki-laki.

Feminisme dan Partisipan Politik di Indonesia.

Pandangan feminisme di setiap zaman tentu berbeda tergantung kepada kondisi dan situasi zaman saat itu. Partisipasi perempuan dalam penyelenggara negara dan pemerintahan di Indonesia kian meningkat, dari situs bawaslu.go.id mengatakan pemberlakuan kuota pencalonan perempuan minimal 30 persen sangat berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu di Indonesia, dengan itu undang-undang telah menghadirkan perempuan dan politik.

Sejak Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019, terjadi peningkatan angka pencalonan perempuan. Tahun 2009 terdapat 31,8 persen perempuan yang mendaftar sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Pemilu 2014 dari 12 partai politik peserta pemilu terdapat 2.061 orang atau 37,4 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019, mencapai 3.200 orang atau 40 persen dari total keseluruhan calon anggota DPR adalah perempuan.

Dari peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik, diharapkan dapat meningkatkan pula keterlibatan perempuan dalam bidang atau aspek-aspek lainnya. Sehingga tercapainya kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki. 

Dengan keterlibatan perempuan dalam kancah perpolitikan di Indonesia tentu bukan segampang seperti menyeduh mie instan, tentu sebelum mi instan itu masuk kedalam kemasan, sudah melalui tahapan dan proses-proses tertentu. Begitu juga bagi perempuan-perempuan saat ini yang ingin memiliki kesetaraan terhadap laki-laki harus melalui segala proses yang diperlukan. Jika ingin berpolitik tentu sekolah atau jenjang pendidikan yang berkesesuaian harus dijalani, begitu juga dalam bidang-bidang lainnya. Perempuan Indonesia saat ini berada dalam arena yang luas untuk mencapai kesetaraan, bahkan perkembangan globalisasi di bidang teknologi informasi semakin dahsyat, sehingga berbagai informasi didapatkan secara cepat lintas batas.

Lalu tinggal bagaimana individu perempuan yang terlibat harus berhati-hati dalam menentukan posisi dan perannya sehingga tidak menjadi korban dari berbagai kepentingan kelompok, disisi lain perlindungan hukum haruslah ditegakkan untuk melindungi kaum perempuan yang ingin berpartisipasi memajukan bangsa, karena perempuan Indonesia adalah bagian dari kekuatan dan sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat, negara dan bangsa.

Ariz A Purnama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini