Policy Brief
Membangun Kesadaran dalam Pembatasan Merkuri Sebagai Potensi Risiko Pada Masyarakat Pertambangan Emas Skala Kecil (Pesk)
Oleh :Nurul Hidayah Nasution (K013231032)
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar
A. RINGKASAN EKSKLUSIF
Pembangunan sektor industri di Indonesia terus meningkat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan manusia di dalam mengelola dan mengolah lingkungan sangat berperan terhadap kesinambungan pembangunan. Peningkatan pembangunan akan dapat memperbaiki kualitas hidup manusia dan pendapatan masyarakat, tetapi pada sisi yang lain pembangunan dapat menurunkan kualitas lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat disebabkan adanya pencemaran. Kontaminasi lingkungan yang dapat menyebabkan pencemaran di perairan diantaranya berupa logam berat. Pencemaran logam berat merupakan ancaman yang besar bagi lingkungan (Setiawan, 2013). Hal itu terjadi karena risiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang bersifat toksik dalam dosis dan konsentrasi tertentu sangat besar (Lestarisa, 2010).
Logam berat adalah unsur alami dari kerak bumi. Logam yang stabil dan tidak bisa rusak atau hancur. Oleh karena itu mereka cenderung menumpuk dalam tanah dan sedimen. Logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan terutama adalah merkuri (Hydrargyrum). Di antara semua unsur logam berat, merkuri menduduki urutan pertama dalam segi sifat racunnya, kemudian diikuti oleh logam berat lainnya seperti Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn (Sudarmaji dkk, 2006).
Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri kemudian terakumulasi dalam rantai makanan dimana akumulasi tertinggi akan didapat pada konsumen teratas. Bentuk merkuri yang terakumulasi itu adalah metil merkuri (Lestarisa, 2010). Organisme perairan dapat mengakumulasikan merkuri dari air, sedimen, dan makanan yang dikonsumsi. (Lasut, 2009).
Data Badan Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (2002), melaporkan bahwa setiap tahun diperkirakan 10 ton merkuri sisa penambangan emas tradisional dibuang ke sungai sehingga mengakibatkan terkontaminasinya sedimen, air sungai dan biota air. Terkontaminasinya sedimen di ekosistem air tawar dan laut menimbulkan potensi bahaya bagi organisme air, spesies lainnya, dan keseha¬tan manusia (Long and Morgan, 1991; Ingersoll et al., 1997 dalam Mac.Farlane1 and Mac.Donald, 2002). Peningkatan merkuri di perairan diperkirakan akan meningkatkan paparan merkuri pada manusia sebagai akibat mengkonsumsi ikan yang tercemar merkuri di perairan (USGS; USEPA, 2006).
Bioakumulasi bahan-bahan kimia pada organisme perairan merupakan suatu kriteria yang penting terhadap dampak yang ditimbulkan. Khususnya terhadap manusia yang terpapar malalui makanan misalnya ikan (Geyer et al. 2000 dalam Setiawan, 2013). Dampak yang ditimbulkan merkuri (Hg) terhadap kesehatan ditandai dengan perasaan mual pada lambung dan rasa ingin muntah, terasa gemetaran pada anggota badan seperti lengan dan kaki, dan terasa peka pada kulit yang tidak ditutupi. Dan dalam jangka waktu yang lama, merkuri (Hg) dapat mengakibatkan radang gusi (gingivitis), gangguan terhadap sistem saraf, tremor (gemetaran) ringan dan parkinsonisme yang juga disertai dengan tremor pada fungsi otot sadar (Palar, 2008).
Merkuri sangat beracun serta sangat korosif jika diserap ke dalam aliran darah. Selain itu, merkuri dapat bergabung dengan protein dalam plasma, sehingga merkuri juga dapat masuk ke organ tubuh lainnya (El-Shenawy, S.M.A. and N.S. Hassan, 2008). Efek kesehatan merkuri organik yaitu gangguan syaraf, walaupun organ lain juga terlibat seperti system pencernaan, sistem pernapasan, hati, immunitas, kulit dan ginjal (Risher, dkk, 2002).
B. KEBIJAKAN
Kebijakan mengenai penggunaan merkuri diatur melalui beberapa peraturan dan program yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain :
1. Undang Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Undang Undang No. 11 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Konvensi Minamata
3. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun
4. Peraturan Presiden RI No. 21 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Dan Penggunaan Merkuri Pada Tingkat Nasional
5. Peraturan Menteri Kesehatan No. 57 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat Pajanan Merkuri Tahun 2016 – 2020.
6. Perpres Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM)
C. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Rekomendasi kebijakan yang ditawarkan adalah
1. Membuat kebijakan tertulis mengenai penggunaan merkuri dan dikomunikasikan kepada seluruh Masyarakat terpajan merkuri.
2. Meningkatkan pendampingan tokoh Masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama terhadap dukungan dalam mengurangi penggunaan merkuri.
3. Meningkatkan pengetahuan Masyarakat terpajan merkuri mengenai dampak atau efek samping penggunaan merkuri dan pentingnya alat pelindung diri (APD) untuk menjaga kesehatan dan keselamatan ketika bekerja dengan memanfaatkan berbagai media yang disukai oleh Masyarakat
4. Lokalisasi tempat pengolahan emas yang dapat menampung semua kegiatan PESK yaitu dengan pengolahan secara komunal dan terletak jauh dari pemukiman.
5. Pembuatan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dalam pengolahan limbah hasil pembakaran amalgam/merkuri sehingga pencemaran merkuri yang masuk ke dalam lingkungan dapat dicegah dan kesehatan masyarakat lebih terjamin.
6. Penyediaan air yang sesuai dengan peruntukkannya dan aman dari bahan berbahaya seperti merkuri karena air merupakan salah satu kebutuhan paling penting bagi kehidupan manusia, selain itu dapat dijadikan sebagai sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
7. Meningkatkan pelayanan berkualitas pada fasilitas Kesehatan yang terdapat pada lokasi terindikasi paparan merkuri sehingga penanganan dapat
8. Sosialisasi mengenai lapangan pekerjaan lain yang tidak berisiko tinggi terhadap merkuri.
9. Pencegahan dan deteksi dini pencemaran merkuri dilakukan dengan pemantauan kadar merkuri di udara secara rutin dan skrining kadar merkuri pada masyarakat baik darah, urin atau rambut di kawasan Penambangan Emas Skala Kecil (PESK).
10. Pemeriksaan medis secara berkala untuk mengetahui ada tidaknya gangguan kesehatan pada masyarakat khususnya kelompok rentan seperti balita, anak-anak, ibu hamil dan menyusui dan manula.
11. Sosialisasi untuk meningkatkan konsumsi makanan yang kaya antioksidan yaitu makanan yang mengandung selenium, zat besi, magnesium, kalsium dan mineral dengan tujuan untuk mencegah peningkatan penyerapan merkuri dan menurunkan kadar merkuri dalam tubuh seperti jamur, tiram, semangka, bawang putih, bayam, ubi jalar, brokoli dan susu.
12. Sosialisasi mengenai bahaya rokok sehingga dapat meingkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan dari bahaya merokok.
13. Substitusi merkuri dengan bahan lain yang kurang berbahaya seperti pembuatan cermin yang dulu memakai amalgam timah putih diubah dengan menggunakan larutan amoniakal perak nitrat (ATSDR, 1999) atau dengan menggunakan metode gravitasi dengan cara mendulang emas dan amalgama konsentrat dengan menggunakan media ijuk. Metode ini terbukti sangat efektif dan ramah lingkungan (National Geographic Indonesia, 2015).
14. Pembentukan kelompok keamanan dalam menjaga dan mengawasi tempat pengolahan emas yang telah dilokalisasi.
D. KESIMPULAN
Pencapaian derajat Kesehatan masyarakat terutama di daerah dengan risiko tinggi terpajan merkuri sangat membutuhkan perhatian khusus terutama dalam pengelolan Bahan Berbahaya Dan Beracun sesuai Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001. Pemerintah setidaknya dapat memfasilitasi dalam mendukung penerapan pelarangan merkuri dengan cara pemberian dukungan perizinan kegiatan PESK, memberikan pelatihan yang relevan dan kampanye melalui kegiatan intervensi peningkatan kesadaran mengenai bahaya merkuri, pentingnya formalisasi, dan manfaat ekonomi dari merkuri dan Teknik bebas merkuri.
E. REFERENSI
Dirjen P2PL Kementrian Kesehatan RI. (2012). Tentang Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL).
El-Shenawy, S.M.A. and N.S. Hassan. (2008).Comparative evaluation of the protective effect of selenium and garlic against liver and kidney damage induced by mercury chloride in the rats. Pharmacol. Rep.,60: 199-208.
F Risher J, E Murray H, and R Prince G. (2002) Organic Mercury Compounds: Human Exposure and its Relevance to Public Health. Journal of Toxicology and Industrial Health, vol. 18, 2001; 3: 109-160
Geyer HJ, Rimkus GG, Scheunert I, Kaune A., Schramm, Kettrup A, Zeeman M, Derek CG, Muir, Hansen, Mackay (2000) Bioaccumulation and Occurrence of Endocrine-Disrupting Chemicals (EDCs), Persistent Organic Pollutants (POPs), and Other Organic Compounds in Fish and Other Organisms Including Humans. Handbook of Environmental Chemistry Vol.2 Part J Bioaccumulation.
Lestarisa, T. (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Keracunan Merkuri (Hg) Pada penambang Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro.
Lasut MT (2009) Proses Bioakumulasi dan Biotransfer Merkuri (Hg) pada Organisme Perairan di dalam Wadah Terkontrol. Jurnal Matematika Dan Sains, September 2009, Vol. 14 No. 3.
Mahaffey RK. (2005) Mercury Exposure : Medical and Public Health Issues. Transactions of the America n Clinical and Climatological Assosiation. Vol 116. 2005.
Palar, H. (2008) Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta.
Schurz, F., M. Sabater-Vilar and J. Fink-Gremmels.. (2000). Mutagenicity of mercury chloride and mechanisms of cellular defense: The role of metal-binding proteins.Mutagenesis ; 15: 525-530.
Setiawan (2013) Kandungan Merkuri Total Pada Berbagai Jenis Ikan Cat Fish Di Perairan Sungai Musi Kota Palembang. Seminar Nasional Sains & Teknologi V. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 19-20 November 2013. Lampung.
Sudarmaji, Adi H.S. dan Agus S. (2004) Konsumsi Ikan Laut, Kadar Merkuri dalam rambut, dan kesehatan nelayan di Pantai Kenjeran Surabaya. Teknik Lingkungan P3TL-BPPT 5 (1): 17 – 24. Universitas Airlangga.
US EPA. (2012). Exposure Factors Handbook. Environmental Protection Agency .